Restorasi Lukisan di Kelenteng Welas Asih – Catatan Pelestarian Budaya
Sejarah adalah sebuah catatan perjalanan. Rekam jejak peristiwa dari perjalanan sebuah negara, sebuah tempat, seorang manusia bahkan sebuah benda. Tidak menjadi soal apakah di dalamnya rekam jejak tersebut penuh dengan kemuliaan, penuh dengan perjuangan atau bahkan sebaliknya. Sejarah adalah tetap menjadi sebuah sejarah. Sebuah catatan perjalanan, apapun isinya.
Sejarah mencatat Kelenteng Welas Asih sebagai sebuah peninggalan yang luar biasa. Dibangun tahun 1595 sebagai sebuah tempat ibadah, saat ini Kelenteng tersebut bernilai lebih dari sekedar tempat ibadah. Kelenteng tersebut telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kota Cirebon, menjadi saksi perjuangan kemerdekaan kota Cirebon dan saat ini menjadi salah satu warisan budaya seperti halnya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman dan peninggalan budaya lainnya.
Membicarakan Kelenteng yang telah berumur lebih dari 500 tahun ini tidak lepas dari membicarakan keindahannya. Keindahan yang tidak hanya tampak pada bangunan dan tata ruangan yang dirancang dengan memperhatikan unsur-unsur harmoni, tetapi juga pada “detail” yang melengkapi Kelenteng ini menjadi salah satu bangunan yang mengesankan.
Salah satu “detail” di Kelenteng Welas Asih yang menyita perhatian adalah lukisan yang terletak di samping kiri dan kanan altar utama di dalam Kelenteng. Menutupi hampir keseluruhan dinding, lukisan tersebut merupakan gabungan dari 120 lembar lukisan berukuran 50cm X 50 cm yang digambar di atas hardboard dengan menggunakan cat minyak. 120 lembar lukisan itu menggambarkan kisah epik karangan sastrawan terkenal Luo Guanzhong, Sam Kok (Shan Guo Yan Yi) dengan mengambil tokoh utama Jenderal Guan Yu, seorang panglima perang yang setia dan jujur, yang setelah meninggalnya menjadi dewa dan dikenal dengan nama Guan Gong.
Sebagian dari 120 episode kisah Sam Kok digambarkan pada 120 lembar lukisan dan menghiasi dinding di kiri dan kanan altar utama. Salah satu episode Sam Kok yang terkenal , ketika Liu Bei , Guan Yu dan Zhang Fei bersumpah sehidup semati mengikat saudara di kebun persik di belakang rumah Zhang Fei untuk berjuang mengembalikan ketentraman Negara Tiongkok yang bergejolak akibat pemberontakan Sorban Kuning, adalah salah satu dari kisah yang dilukis.
Lukisan yang ada saat ini adalah lukisan pengganti dari lukisan awal dengan kisah yang sama, yang dibuat pada petengahan abad ke-16, bersamaan dengan dibangunnya Kelenteng Welas Asih. Kerapuhan dinding Kelenteng yang rusak oleh pengaruh iklim, air laut dan terpaan angin laut, membuat gambar di atasnya menjadi rapuh dan tidak mudah untuk diperbaiki.
Pada tahun 1960, pengurus Kelenteng sepakat untuk mengganti lukisan asli dengan lukisan yang baru dengan gambar baru yang dibuat sesuai dengan gambar lukisan asli.
Pelukis kenamaan asal kota Cirebon, Thio Ho Tek ditunjuk untuk mengambar ulang lukisan tersebut. Thio Ho Tek sangat mahir dalam melukis dengan cat air gaya tiongkok (Guo Hua) maupun dengan mengunakan cat minyak ala pelukis Eropa. Goresan tulisan/huruf Mandarin dengan mengunakan mao bi (mao bi zi) beliau juga sangat indah. Kelenteng Welas Asih menyimpan banyak karya kaligrafi (mao bi zi) Thio Ho Tek.
Material yang yang dipilih adalah hardboard dan cat minyak, yang diharapkan lebih kuat dan tahan lama dibandingkan apabila dilukis langsung di atas tembok. Namun karena terkena asap dupa/hio dan hardboard yang termakan rayap, kondisi lukisan yang terpasang juga sudah mulai rusak.
Saat ini pengurus Kelenteng berencana untuk menganti lukisan yang ada dengan lukisan baru di atas lembaran granit dengan proses digrafir. Pemilihan granit sebagai material yang baru diharapkan akan lebih bertahan lama dan mudah dalam pemeliharaan.
Lukisan ini memang hanya sebagai detail yang melengkapi Kelenteng Welas Asih sebagai sebuah tempat ibadah. Dalam 500 tahun perjalanannya, Kelenteng ini telah mencatatkan banyak sejarah, termasuk sejarah pelestarian bangunan, lukisan dan detail-detail yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kelenteng Welas Asih. Sejarah yang pada akhirnya juga menjadi bagian dari sejarah budaya Indonesia.
Penulis: Rebecca Muljadi
Nara sumber: Bapak Sungkono – Pengurus Kelenteng Welas Asih