Kebaya Peranakan Tionghoa (Kebaya Encim)
Semenjak pemerintah memberikan kebebasan kepada masyarkat Tionghoa untuk merayakan hari Imlek secara terbuka, perkembangan budaya yang terkait dengan kehidupan masyarakat Tionghoa juga mulai tumbuh kembali. Akademisi juga mulai melirik untuk melakukan penelitian perkembangan budaya masyarakat Tionghoa dari sejak kedatangan orang-orang dari negara Tiongkok ke Nusantara.
Salah satu yang menjadi data tarik adalah terjadinya perkawinan antara orang-orang Tiongkok tersebut dengan perempuan setempat sehingga menghasilkan perpaduan budaya yang semakin memperkaya budaya di Nusantara ini. Keturunan dari pernikahan campuran ini disebut kaum peranakan Tionghoa dan budaya yang mengikutinya disebut Budaya Peranakan. Salah satu budaya peranakan yang terlihat jelas adalah penggunaan baju kebaya oleh para perempuan peranakan ini. Berbeda dengan kebaya dari budaya Jawa, kebaya peranakan memiliki warna yang lebih cerah seperti hijau tosca, merah jambu dan lain lain. Sayangnya, pengunaan pakaian kebaya ini semakin ditinggalkan pada jaman sekarang.
Dalam perhelatan Baba Nyonya Convention ke 27, yaitu sebuah konvensi budaya peranakan internasional, di mana Indonesia menjadi tuan rumah, Aspertina menyelenggarakan acara Kondangan Peranakan Tionghoa sebagai bagian dari rangkaian konvensi tersebut. Di dalam acara tersebut ditampilkan berbagai rancangan busana bernuansa peranakan termasuk kebaya peranakan yang merupakan hasil karya para desainer terkemuka Indonesia. Pagelaran kebaya peranakan yang ditampilkan mengundang decak kagum para peserta konvensi dari luar negeri. Sungguh miris melihat kontradiksi ini di mana orang dari luar negeri begitu mengapresiasi kebaya peranakan, tetapi orang-orang Indonesia justru malah meninggalkannya.
Karena itu, dalam rangka mengembalikan rasa cinta kepada budaya peranakan Indonesia sebagai bagian dari budaya nasional Indonesia, Aspertina mengajak semua pihak, terutama media, untuk mendukung pencanangan pemakaian kebaya peranakan di hari Imlek. Jadi, tidak lagi menggunakan busana tradisional dari Tiongkok berupa ceongsam tetapi menggunakan busana budaya peranakan yang sudah merupakan bagian dari budaya nasional.
Hal ini juga akan mendorong semakin berkembangnya industri kreatif dalam usaha usaha mikro maupun menengah dalam negeri sehingga kita berharap di masa depan Indonesia bisa menjadi kiblat fashion peranakan dari negara-negara lain.
Aspertina, Februari 2015