Budaya sebagai Penopang Perekonomian Bangsa

Sep 09, 2016


Sumber gambar: www.wikipedia.org

Batik adalah salah satu harta karun bangsa Indonesia, hasil akulturasi budaya pendatang dan budaya asli Indonesia  selama beratus-ratus tahun dan tersebar tak hanya di Pulau Jawa, tetapi hampir seluruh daerah di Indonesia. Namun meskipun sebuah harta karun, sebelum tahun 2014, batik dengan segala keindahannya justru menyimpan cerita sedih dari para pelaku pelestari dan industrinya.

Mulai dari kisah sedih para pembatik yang umumnya adalah wanita, pekerja pendukung lainnya yang umumnya pria (pencelup, dll) sampai pemilik pembatikan yang masing-masing menyimpan duka karena usaha mereka untuk melestarikan batik tak mendapat imbalan yang sepadan.

Minat masyarakat untuk berbatik sebelum tahun 2014 sungguh sangat minim. Berbusana batik hanya dilakukan ketika menghadiri pesta pernikahan, atau acara penting lainnya. Untuk busana ke kantor dan sehari-hari, masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan kemeja/ busana bermerek internasional daripada berbatik. Yang lebih parah, apabila ada yang berbusana batik untuk berkantor, maka pasti akan menjadi bahan olok-olok karena dianggap manusia “aneh”.

Batik yang kononmerupakan pusaka dan harta karun bangsa Indonesia menjadi bahan tertawaan oleh bangsanya sendiri. Sebuah lelucon yang akan menjadi malapetaka. Para penggiat budaya maupun designer yang peduli terhadap batik mencoba mengangkat batik ke pentas yang lebih tinggi, tetapi usaha ini sepertinya tak membuahkan hasil yang nyata.

Dengan kondisi seperti itu, sungguh sulit bagi pembatikan dapat bertahan hidup. Hasil berupa kain batik yang sejatinya begitu indah, ironisnya begitu sulit untuk dijual. Jangankan berpikir untung, untuk bertahan saja diperlukan usaha ekstra keras.

Tak heran banyak pembatikan yang akhirnya sekarat, gulung tikar, atau beralih profesi ke bisnis lain yang lebih menjanjikan. Hampir tak mungkin mempertahankan suatu bisnis, apabila bisnis tersebut tak lagi mampu mencukupi kebutuhan sandang pangan papan para pelaku bisnisnya.

Dengan gugurnya pembatikan tempat para pembatik bernaung, maka para pembatik kehilangan pekerjaannya. Wanita-wanita yang mahir berkarya dengan canting halus ini harus bekerja sebagai petani untuk menopang kehidupan keluarga. Tak sedikit dari mereka yang harus meninggalkan keluarga untuk menjadi asisten rumah tangga di kota-kota besar. Meninggalkan pengasuhan anak-anak yang masih kecil kepada kakek - nenek atau anggota keluarga lain yang bisa dititipi, supaya ibu mereka bisa mencari nafkah untuk mensejahterakan keluarganya, menjadi penopang bagi kehidupan perekonomian keluarga.

Era Kebangkitan Batik Indonesia

Beruntung pada 2 oktober 2009, UNESCO sebagai badan PBB yang mengurusi bidang kebudayaan menetapkan batik sebagai Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 33, tahun 2009. Dengan penetapan ini, pemerintah mendorong penggunaan batik di kantor-kantor pemerintah, BUMN dan instansi lainnya. Setiap hari Jumat, semua pegawai negeri dan BUMN diwajibkan berbatik dan langkah ini segera diikuti oleh sektor swasta dan lembaga pendidikan.

Dengan segera, euphoria berbatik terlihat di mana-mana. Berbatik yang awalnya lebih untuk pelestarian budaya, menjadi sebuah industri yang utuh. Tak peduli apakah itu batik dengan harga ekonomis, maupun batik dengan harga selangit, semuanya memiliki pasarnya sendiri.

Gudang pembatikan yang awalnya penuh oleh tumpukan persediaan barang yang jarang terjual, sekarang hanya menjadi ruang kosong karena semua barang habis terjual.

Sungguh suatu euphoria yang seharusnya terjadi ratusan tahun yang lalu mengingat batik adalah warisan budaya Indonesia yang telah ada beratus-ratus tahun yang lalu. Kenapa harus menunggu tahun 2009 kalau keberadaan batik Indonesia sudah tercatat sejak abad ke- 8? Kenapa harus menunggu penetapan dari UNESCO sebelum kita sebagai rakyat Indonesia “mulai” berbangga dengan warisannya sendiri?

Catatan ‘pemulihan’ batik adalah catatan dengan “happy ending”, walaupun masih banyak pekerjaan rumah untuk pelestarian batik Indonesia. Beberapa batik pesisir, seperti Batik Batang (Jawa Tengah) saat ini mendapat perhatian khusus karena pengrajin motif Batang yang sudah langka mengakibatkan motif Batang terancam punah. Upaya pelestarian, saat ini menjadi usaha serius dan didukung oleh pemerintah.

 Tari Cokek di Ambang Kepunahan

 
Sumber gambar: sutrisno-budiharto.blogspot.com

Namun budaya Indonesia begitu beragam. Negeri ini menyimpan harta karun budaya yang tak terkira dan saat ini beberapa diantaranya menuju “kepunahan”. Salah satunya adalah Tari Cokek. Kakek nenek kita yang tinggal di Jakarta atau Tangerang tentunya mengingat dengan bahagia pengalaman menyaksikan tari Cokek yang umumnya digelar pada acara kawinan.

Tari Cokek memiliki kemiripan dengan tari Sintren dari Cirebon dan tari Ronggeng dari Jawa Tengah, dimana tarian yang interaktif dan komunikatif ini mengajak penontonnya untuk menari bersama diikuti oleh iringan musik gambang kromong.

Namun saat ini, sungguh sulit mencari seniman penari Cokek yang masih bertahan. Entah karena jarang menerima panggilan untuk manggung, atau karena alasan lainnya, tari Cokek dan musik gambang kromong seakan “menghilang”. Yang masih bertahan adalah tarian yang sering dijumpai di Pantura Jawa dengan diiringi lagu dangdut atau music house yang lebih mengumbar erotisme dari pada seni.

Yang menyedihkan, tari Cokek yang berjalan menuju kepunahan tidaklah sendiri. Banyak budaya Indonesia dan lebih khusus budaya Peranakan menunggu campur tangan semua pihak untuk pelestariannya. Campur tangan asosiasi, perorangan, dan teristimewa pemerintah, amat sangat diperlukan untuk mendukung keberadaan lestarinya budaya.

Budaya Indonesia yang begitu kaya dan beragam, bukannya tak mungkin menjadi sarana untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia. Perjalanan pelestarian batik, walaupun berliku, tetapi berhasil memberikan harapan bahwa peningkatan budaya dapat mendorong peningkatan ekonomi rakyat di suatu daerah. Sebuah usaha dengan hasil ganda, pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan taraf hidup. Sebuah usaha yang bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh warga Negara Indonesia.

Jakarta, 6 September 2016

Sekretariat Aspertina
EightyEight@Kasablanka Building Floor 32nd Unit A
Jl. Casablanca Raya Kav. 88
Jakarta 12870. INDONESIA

Phone :+62 21-29820200. Fax : +62 21-29820144

Copyrights © 2011-2022. Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia. All Rights Reserved.